Gereja tua itu tak berdinding dengan rapi, terlihat lobang yang menganga di mana-mana, dan bila angin kencang berhembus, maka seluruh jemaatnya bisa merasakan langsung tiupan angin itu. Dan atau bahkan bila hujan datang, maka tetesan air hujan bisa masuk kedalam ruangan gereja.
Sebelum kotbah, bapak penetua yang sudah lanjut usia itu, membacakan warta jemaat atau yang lebih dikenal orang dengan tikting. Tampak dengan semangat berapi-api, suaranya yang serak, seolah bersaing dengan suara derunya angin yang bertiup kencang siang itu. Terlihat tangan kirinya yang keriput berusaya mempertahankan lembaran buku tikting dari tiupan angin yang masuk dari sisi kanan gereja. Sementara tangan kanananya sibuk membetulkan letak kacamatanya yang lusuh berbingkai hitam kusam itu.
“Tikting na paopathon….Dakdanak Na Sorang”….suaranya semakin serak dari mimbar kecil disebelah kanan gereja mungin di tengah areal persawahan itu.
“Dibasa-basahon tuhanta do…..eee…ee…..” terlihat dia kelepotan membaca tikting itu. Angin semakin tak karuan pertanda akan segera turun hujan.
“Dibasa-basahon tuhanta do…..eee…ee…..” terlihat dia kelepotan membaca tikting itu. Angin semakin tak karuan pertanda akan segera turun hujan.
“dibasa-basahon tuhanta do tu keluarga R Tampubolon Inantai boru siTumorang…eee…ee…” Tiba-tiba secarik kertastikting jatuh ke lantai tak berkeramik itu, lalu dipungutnya dan diletakkan pada lipatan sebelumnya.
“Dibasa-basahon tuhanta do dinasida…..Sada papan Tulis na imbaru…..”
“Dibasa-basahon tuhanta do dinasida…..Sada papan Tulis na imbaru…..”
Rupanya secarik kertas tadi salah menempatkan …..ah tahe….