Raja Si Singamangaraja XII (1849-1907) menolak Dinobatkan Menjadi
Sultan. Dia seorang pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan.
Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya
ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada
tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa
sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat. Perjuangannya
untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si
mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak)
saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang
yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan
si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang
tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun
mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh. Dengan dasar itulah,
sehingga ketika pertempuran melawan penjajah Belanda di Balige tahun
1883, Si Singamangaraja XII berupaya mendekati serdadu Belanda yang
antara lain terdiri dari saudara-saudara sebangsa dari Jawa yang jelas
juga bermata hitam. Ia mencoba memberitahukan persaudaraan di antara
mereka dibandingkan dengan orang Belanda, yang ketika itu diidentikkan
dengan sekelompok etnis bermata putih yang suka melakukan penindasan.
Raja Si Singamangaraja XII yang lahir pada tahun 1849 di Bakkara,
Tapanuli, sebuah daerah di tepian Danau Toba, ini diangkat menjadi raja
pada tahun 1867 menggantikan ayahnya Raja Si Singamangaraja XI yang
meninggal dunia akibat penyakit kolera. Sebagaimana leluhurnya, sejak Si
Singamangaraja II, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari
pendahulunya secara turun temurun. Sebagaimana dengan Si Singamangaraja I
sampai XI, beliau juga merupakan seorang pemimpin yang sangat menentang
perbudakan yang memang masih lazim masa itu. Jika beliau pergi ke satu
desa (huta), beliau selalu meminta agar penduduk desa tersebut
memerdekakan orang yang sedang dipasung karena hutang atau kalah perang,
orang-orang yang ditawan yang hendak diperjualbelikan dan diperbudak.
Pada masa pemerintahannya, kegiatan zending pengembangan agama Kristen
oleh Nommensen Cs dari Jerman juga sedang berlangsung di Tapanuli. Tidak
begitu lama dengan itu, kekuasaan kolonial Belanda pun mulai memasuki
daerah Tapanuli. Maka untuk menghadapi segala kemungkinan, ia pun mulai
mengadakan persiapan-persiapan dengan mengadakan musyawarah dengan
raja-raja serta panglima daerah Humbang, Toba, Samosir, dan
Pakpak/Dairi. Perang urat syaraf pun makin meningkat pada kedua belah
pihak. Walaupun sudah dicoba, jalan damai sudah tidak dapat lagi
ditempuh. Maka pada tanggal 19 Pebruari 1878 serangan mulai dilancarkan
pasukan Si Singamangaraja XII yaitu rakyat Tapanuli sendiri terhadap pos
pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung. Pertempuran yang
menewaskan banyak penduduk tersebut akhirnya memaksa pasukan Si
Singamangaraja mundur. Tapi walaupun harus mundur dari Bahal Batu,
semangat juang perlawanan pasukan itu masih tetap tinggi terutama di
desa-desa yang belum tunduk pada Belanda seperti Butar, Lobu Siregar,
Tangga Batu, dan Balige selaku basis pasukan Si Singamangaraja XII
ketika penyerangan ke Bahal Batu. Sebaliknya di pihak Belanda, dengan
kemenangan di Bahal Batu tersebut, semakin berani mengejar terus pasukan
Si Singamangaraja XII sampai ke desa-desa yang tidak tunduk pada
kolonial. Dalam pengejaran tersebut, mereka selalu membakar desa dan
menawan raja-raja desa. Akibatnya, pertempuran pun berkobar di mana-mana
seperti di Sipintu-pintu, Tangga Batu, Balige, Bakkara dan sebagainya.
Bahkan dalam pertempuran kedua di Balige, Si Singamangaraja XII sempat
terkena peluru di atas lengan, walau lukanya tidak sampai membahayakan
nyawanya namun kuda putihnya si hapas pili mati ketika itu. Ia pun
melakukan perang gerilia. Dengan begitu, Si Singamangaraja XII pun
terpaksa berpindah-pindah seperti dari Balige ke Bakkara kemudian ke
Huta Paung di Dolok Sanggul, selanjutnya ke Lintong (kampung pamannya
(tulang) Ompu Babiat Situmorang) dan kembali lagi ke Bakkara, begitulah
terkadang berulang. Dan ketika kedua kalinya Si Singamangaraja XII
menyingkir ke Lintong, Belanda pun menyerbu ke sana secara tiba-tiba
pada tahun 1989. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi
persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih
pasukan Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan
keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi, yang kemudian selama 21
tahun tidak mengadakan serangan terbuka pada pasukan Belanda. Pada kurun
waktu itu, beliau tetap mengadakan perlawanan dengan cara melakukan
kunjungan ke berbagai daerah seperti ke Aceh dan raja-raja kampung
(huta) di Tapanuli dengan maksud agar hubungan di antara mereka tetap
terjaga terutama memberi semangat kepada mereka agar tidak mau tunduk
pada Belanda. Akibatnya perlawanan oleh raja-raja terhadap Belanda pun
kerap terjadi. Pihak Belanda meyakini, bahwa perlawanan yang dilakukan
oleh raja-raja kampung itu tidak lepas dari pengaruh Si Singamangaraja
XII. Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi)
dengan menawarkan penobatan Si Singamangaraja sebagai Sultan Batak,
dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di
daerah lain. Namun Si Singamangaraja menolak tawaran itu. Sehingga usaha
untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Dan setelah
melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya
ketahuan oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang
sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak
dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan
dinobatkan menja Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau
tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada
menyerah. Dalam sejarah perjuangan nasional Indonesia, ia seorang
pejuang yang tidak mau berkompromi dengan Belanda. Sehingga terjadilah
pertempuran sengit yang menewaskan hampir seluruh keluarganya melawan
penjajah. Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Raja Si Singamangaraja XII
bersama dua putra dan satu putrinya serta beberapa panglimanya yang
berasal dari Aceh gugur pada saat yang sama yaitu tanggal 17 Juni 1907
di Sionom Hudon. Kedua putranya itu yaitu putra sulungnya Patuan Nagari
dan Patuan Anggi sedangkan putrinya bernama boru Lopian, srikandi sejati
yang masih berumur 17 tahun. Raja Si Singamangaraja XII tepatnya gugur
di hutan daerah Simsim, Sindias di kaki gunung Sitapongan, kurang lebih
9-10 km dari Pearaja, Sionom Hudon, Tapanuli, Sumatera Utara. (Disebut
Sionom Hudon, sesuai dengan keenam marga yang menguasai daerah itu yaitu
Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Pinayungan, Turutan, dan Anakampun).
Jenazahnya mula-mula dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke
Sopo Surung Balige. Keluarga Si Singamangaraja XII yang turut gugur
dalam pertempuran melawan kolonial Belanda tersebut bukan hanya dua
putra dan putri yang sangat disayanginya tersebut, tapi tidak lama
sebelumnya, abangnya yang bernama Ompu Parlopuk juga sudah gugur ketika
melancarkan perang Gerilya tersebut. Demikian halnya dengan sang
Permaisuri Raja Si Singamangaraja XII, boru Situmorang, juga telah lebih
dulu meninggal tidak lama sebelum wafatnya Si Singamangaraja XII akibat
keletihan bergerilya di tengah hutan. Bahkan, Pulo Batu, cucu yang
sangat disayanginya, harus meninggal di usia muda sebelum kakeknya. Raja
Si Singamangaraja XII alias Ompu Pulo Batu (Ompu Pulo Batu merupakan
penamaan yang diambil dari nama cucu laki-laki paling sulung dari
putranya paling sulung, dalam hal ini Pulo Batu merupakan anak sulung
dari Patuan Nagari), akhirnya harus sama-sama wafat dengan cucu yang
sebelumnya sangat diharapkannya menjadi penerus perjuangannya itu.
Perang Batak yang dipimpin Si Singamangaraja XII di Tapanuli, Sumatera
Utara yang pecah sejak tahun 1878 itu, akhirnya berakhir sudah. Sejarah
mencatat, ketika gugurnya sang pahlawan ini yang menjadi Gubernur
Jenderal yaitu pemangku jabatan Kerajaan Belanda yang tertinggi daerah
kolonial di Nusantara adalah Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz, sedangkan
Gubernur Militer di Aceh yang mencakup Sumatera Utara adalah Jenderal
G.O.E.van Daalen. Dan dibawah pasukan Kapten Christoffel alias ‘Si Macan
Aceh’, seorang berkebangsaan Swiss yang sebelumnya hanya merupakan
serdadu bayaran, namun kemudian tahun 1906 menjadi warga negara Belanda,
akhirnya sang pahlawan, Raja Si Singamangaraja XII gugur tertembak.
Kapten Christoffel yang melaporkan gugurnya Raja Si Singamangaraja XII
di Tanah Batak kepada Gubernur Jenderal J.B.van Heutsz di Bogor ketika
itu membawa bukti jarahan berupa Piso Gaja Dompak dan Stempel Kerajaan.
Stempel kerajaan dan Piso Gaja Dompak pun secara resmi disampaikan oleh
Bataviaaschap Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga
Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan di Batavia) pada rapatnya tanggal 7
Agustus 1907 kepada Museum di Gedung Gajah (Jalan Merdeka Barat
sekarang-red). Piso Gaja Dompak waktu itu diberi tanda nomor 13425.
Mengenai pusaka yang satu ini, beberapa kalangan anggota keluarga Raja
Si Singamangaraja XII mengklaim, bahwa Piso Gajah Dompak yang sebenarnya
masih disimpan oleh anggota keluarga. Sementara yang lain mengatakan
bahwa salah seorang dari pihak boru (pihak dari anak perempuan) yang
menyimpannya. Bahkan ada pula yang mengatakan bahwa Piso Gaja Dompak itu
telah menghilang ke langit. Piso Gaja Dompak itu sendiri adalah satu
keris yang panjangnya sekitar 60-70 cm dengan pegangan yang menyerupai
patung gajah. Menurut keluarga Si Singamangaraja dan berdasarkan hasil
penelitian berbagai sarjana, pusaka ini sudah ada sejak Si
Singamangaraja I yaitu sekitar pertengahan abad XVI Masehi. Bersama
stempel kerajaan, pusaka tersebut merupakan lambang penting dari
pemerintahan Raja Si Singamangaraja I sampai ke XII. Perang yang
berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang
begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Si Singamangaraja XII
sendiri. Tapi walaupun Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti
secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya
terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli
khususnya pengikut dari Si Singamangaraja XII sendiri. Di hati rakyat
sudah tumbuh semangat kemerdekaan dari segala bentuk penindasan seperti
yang sudah ditanamkan sang pahlawan. Namun perlawanan rakyat itu tidak
lagi sebesar perlawanan yang dipimpin Si Singamangaraja XII, sebab
Belanda sudah semakin banyak menguasai kampung-kampung. Di samping itu,
ketika itu pemimpin perlawanan rakyat itu pun belum ada yang bisa
menyamai Si Singamangaraja XII yang bisa menghimpun semua raja-raja di
Tapanuli bahkan dari Aceh. Sejak itu sejarah baru pun tertulis. Daerah
Aceh dan Sumatera Utara bagian pedalaman yang sampai tahun 1903 masih
belum bisa dikuasai Belanda dan bahkan sebelum wafatnya Si
Singamangaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907 itu, kekuasaan Hindia
Belanda di Nusantara masih minus Sumatera Utara bagian pedalaman,
akhirnya berakhir. Sejak itu lengkaplah seluruh wilayah Nusantara
menjadi daerah jajahan Belanda sebab Sumatera Utara bagian pedalaman
inilah yang merupakan daerah terakhir di Nusantara yang dimasukkan ke
dalam kekuasaan pemerintahan penjajahan Belanda.