Rumah adat bagi orang Batak didirikan bukan hanya sekedar tempat
bemaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari semata tetapi
sebenanya sarat dengan nilai filosofi yg dapat dimanfaatkan sebagai
pedoman hidup.
Beragam pengertian dan nilai luhur yg melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yg mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yg terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yg diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.
Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yg diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yg diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dsb yg diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yg dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yg dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yg digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yg diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yg suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yg seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yg dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yg pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yg mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yg mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yg kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yg mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yg berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit jungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yg dibantu beberapa tiang penopang yg lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan”yg bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yg mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yg mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yg berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yg harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yg disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yg letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yg disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yg layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yg Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama import disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yg dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yg merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yg kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yg mengatakan “Kalau ada jarum yg patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yg salah jangan disimpan dalam hati”.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yg membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan “list plank”. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yg menahan atap yg terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yg sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yg berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yg selalu peduli terhadap apa yg terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yg dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yg disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yg mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yg disebut dengan “talaga”. Semua yg kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tsb. Karena itu ada falsafah yg mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yg dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yg tercela atau perbuatan yg dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tsb dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yg empunya rumah ruangan tsb digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yg disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yg tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahulna bolon”. Dan ada juga falsafah yg mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yg kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah parapara dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yg mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yg artinya kira-kira jika manusia yg bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yg adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yg berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yg berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yg cepat aus menandakan bahwa tangga tsb sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yg punya rumah adalah orang yg senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tsb ramah. Tangga tsb dinamai dengan “Tangga rege-rege”.
.
.
...
.
Beragam pengertian dan nilai luhur yg melekat dan dikandung dalam rumah adat tradisionil yg mestinya dapat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari, dalam rangka pergaulan antar individu.
Dalam kesempatan ini akan dipaparkan nilai flosofi yg terkandung didalamnya sebagai bentuk cagar budaya, yg diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian budaya, agar kelak dapat diwariskan kepada generasi penerus untuk selalu rindu dan cinta terhadap budayanya.
Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah lebih dulu dikumpulkan bahan-bahan bangunan yg diperlukan, dalam bahasa Batak Toba dikatakan “mangarade”. Bahan-bahan yg diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dsb yg diperlukan.
Dalam melengkapi kebutuhan akan bahan bangunan tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yg dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk gotong royong tanpa pamrih.
Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” (ahli di bidang tertentu, untuk membuat rumah disebut tukang) untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”.
Biasanya tahapan yg dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yg digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yg diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.
Kayu yg suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yg seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.
Tahapan selanjutnya yg dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yg pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yg mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.
Salah satu hal penting yg mendapat perhatian dalam membangun rumah adalah penentuan pondasi. Ada pemahaman bahwa tanpa letak pondasi yg kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. Pengertian ini terangkum dalam falsafah yg mengatakan “hot di ojahanna” dan hal ini berhubungan dengan pengertian Batak yg berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit jungjung.
Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yg dibantu beberapa tiang penopang yg lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan”yg bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yg mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan dalam memikui beban berat.
Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yg mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yg berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yg harmonis dengan tetangga.
Untuk mendukung rangka bagian atas yg disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yg letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.
Dibawah atap bagian depan ada yg disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yg layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yg Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama import disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yg dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.
Di sebelah depan bagian atas yg merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yg kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yg mengatakan “Kalau ada jarum yg patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yg salah jangan disimpan dalam hati”.
“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yg membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan “list plank”. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yg menahan atap yg terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yg sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yg berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yg selalu peduli terhadap apa yg terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita.
Pemanfaatan Ruangan
Pada bagian dalam rumah (interior) dibangun lantai yg dalam pangertian Batak disebut “papan”. Agar lantai tersebut kokoh dan tidak goyang maka dibuat galang lantai (halang papan) yg disebut dengan “gulang-gulang”. Dapat juga berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah sehingga ada ungkapan yg mengatakan “Hot do jabu i hot margulang-gulang, boru ni ise pe dialap bere i hot do i boru ni tulang.”
Untuk menjaga kebersihan rumah, di bagian tengah agak ke belakang dekat tungku tempat bertanak ada dibuat lobang yg disebut dengan “talaga”. Semua yg kotor seperti debu, pasir karena lantai disapu keluar melalui lobang tsb. Karena itu ada falsafah yg mengatakan “Talaga panduduran, lubang-lubang panompasan” yg dapat mengartikan bahwa segala perbuatan kawan yg tercela atau perbuatan yg dapat membuat orang tersinggung harus dapat dilupakan.
Di sebelah depan dibangun ruangan kecil berbentuk panggung (mirip balkon) dan ruangan tsb dinamai sebagai “songkor”. Di kala ada pesta bagi yg empunya rumah ruangan tsb digunakan sebagai tempat “pargonsi” (penabuh gendang Batak) dan ada juga kalanya dapat digunakan sebagai tempat alat-alat pertanian seperti bajak dan cangkul setelah selesai bertanam padi.
Setara dengan songkor di sebelah belakang rumah dibangun juga ruangan berbentuk panggung yg disebut “pangabang”, dipergunakan untuk tempat menyimpan padi, biasanya dimasukkan dalam “bahul-bahul”. Bila ukuran tempat padi itu lebih besar disebut dengan “ompon”. Hal itu penyebab maka penghuni rumah yg tingkat kehidupannya sejahtera dijuluki sebagai “Parbahul-bahulna bolon”. Dan ada juga falsafah yg mengatakan “Pir ma pongki bahul-bahul pansalongan. Pir ma tondi luju-luju ma pangomoan”, sebagai permohonan dan keinginan agar murah rejeki dan mata pencaharian menjadi lancar.
Melintang di bagian tengah dibangun “para-para” sebagai tempat ijuk yg kegunaannya untuk menyisip atap rumah jika bocor. Dibawah parapara dibuat “parlabian” digunakan tempat rotan dan alat-alat pertukangan seperti hortuk, baliung dan baji-baji dan lain sebagainya. Karena itu ada fatsafah yg mengatakan “Ijuk di para-para, hotang di parlabian, na bisuk bangkit gabe raja ndang adong be na oto tu pargadisan” yg artinya kira-kira jika manusia yg bijak bestari diangkat menjadi raja maka orang bodoh dan kaum lemah dapat terlindungi karena sudah mendapat perlakuan yg adil dan selalu diayomi.
Untuk masuk ke dalam rumah dilengkapi dengan “tangga” yg berada di sebelah depan rumah dan menempel pada parhongkom. Untuk rumah sopo dan tangga untuk “Ruma” dulu kala berada di “tampunak”. Karena itu ada falsafah yg berbunyi bahwa “Tampunak ni sibaganding, di dolok ni pangiringan. Horas ma na marhaha-maranggi jala tangkas ma sipairing-iringan”.
Ada kalanya keadaan tangga dapat menjadi kebanggaan bagi orang Batak. Bila tangga yg cepat aus menandakan bahwa tangga tsb sering dilintasi orang. Pengertian bahwa yg punya rumah adalah orang yg senang menerima tamu dan sering dikunjungi orang karena orang tsb ramah. Tangga tsb dinamai dengan “Tangga rege-rege”.
.
.
...
.