SEKUAT tenaga Merlin menenangkan dirinya yang mulai goyah melanjutkan keputusannya. Dibacanya lagi tiket Lion Air yang ia beli setiba di Bandara Polonia, seakan belum yakin jam keberangkatan pesawat terakhir yang akan ditumpanginya. Ia berusaha keras untuk meyakinkan dirinya bahwa keputusannya tak salah. Bilapun sanak-saudara serta orang sekampungnya akan menyalahkan dan menganggap dirinya keterlaluan dan kejam, apa boleh buat. Hidup harus memilih, sepedih apapun akibatnya.
Onan Runggu harus ia tinggalkan. Baginya, desa yang sesungguhnya indah berkat panorama Danau Toba dan perbukitan tinggi yang mengitarinya itu, tak ubahnya penjara yang mengurung dirinya sekian bulan. Kepergiannya dari desa yang terletak di selatan Samosir itu tentu tak diketahui janda 68 tahun yang sudah sembilan bulan tergeletak di rusbang kayunya. (Airmata Merlin menetes lagi setelah sekelebat terlintas wajah tipis perempuan tua itu; juga mata yang terus memandang hampa ke langit-langit rumahnya dengan mulut menganga).
Sebelum pergi, diciumnya kening perempuan tua itu seraya membisikkan ‘maaf’ dan ‘semoga Tuhan menyembuhkanmu.’ Langkahnya hampir dijegal airmata perempuan yang melahirkannya 37 tahun lampau itu; seolah tahu akan ditinggal anak gadisnya. Merlin tak goyah, walau harus berjuang keras untuk meneguhkan niatnya. Bukan karena tak iba lagi dirinya melihat penderitaan ibunya, bukan pula karena tak menyayanginya. Ia merasa tak mampu lagi mengalahkan sebuah dorongan yang gencar membuncah dari dalam dirinya: kembali ke habitatnya di Jakarta.
Padahal, enam bulan lalu, sukarela ia tinggalkan kantornya walau jabatannya lumayan bagus di perusahaan pembuat perangkat telekomunikasi itu. Ditinggalkannya pula kehidupan yang dibayangkan orang-orang, mapan dan menyenangkan, walau sebenarnya tak selalu demikian. Ia turuti permintaan kakak-kakaknya untuk merawat ibu mereka yang mendadak lumpuh dan kehilangan memori ingatan karena stroke, dan menurut diagnosis dokter RS Elisabeth Medan, tipis harapan sembuh.
Selain kasihan dan ingin berbakti-yang sejak lumpuh hanya mengandalkan perawatan dua kerabat dekat yang ia panggil namboru dan Rosinta, putri sepupunya, sementara mereka pun harus mengurus keluarga masing-masing dan bekerja di sawah-tinggal dirinya yang paling bebas dan bisa berlama-lama di Onan Runggu.
Empat kakaknya dan dua adiknya sudah menikah semua; beristri, bersuami, punya anak, memerlukan pengurusan. Tambah lagi, domisili mereka amat jauh dari Samosir: Tanjung Karang, Samarinda, Jakarta, dan Semarang. Sementara, tak satu suster dari Medan atau Siantar pun bersedia merawat ibu mereka, meski sudah ditawari bayaran mahal, barangkali karena lokasinya terpencil di bumi Samosir dan jauh dari kota. Tak mungkin pula ibu mereka dibawa dalam keadaan lumpuh ke salah satu kota hunian anak-anaknya. Merlinlah satu-satunya yang bisa diharapkan. Statusnya masih lajang, tak ada yang keberatan bila ia pergi berlama-lama.Sejak tiba di Onan Runggu, sepenuh kasih ia rawat ibunya. Setidaknya dua tiga kali sehari tubuh yang kian mengecil itu diangkatnya, dipangku, dilap, dibersihkan, agar segar dan tak bau. Juga menyuapkan bubur, air, buah, obat. Pekerjaan mencuci baju, menyetrika, memasak, membersihkan rumah, pun harus ia lakukan, karena Rosinta hanya bisa diharapkan sepulang sekolah, itu pun bila tak langsung diminta ibunya bekerja di sawah. Kerap pula ia terbangun saat tidur nyenyak. Biasanya karena ibunya mengigau, terkadang karena mencret. Meski mulanya risih, ia sudah terbiasa membersihkan tinja bercampur urin yang begitu saja diserakkan ibunya di kasur kapuk yang sudah bergelombang itu. Juga mendengus bau yang memualkan perut dan mengundang muntah itu; bau yang terus menguap dari kasur kapuk ranjang yang tiada henti ditiduri ibunya, padahal spreinya selalu diganti dan sudah pula dilapisi perlak.
Telah berbulan-bulan pula ia dengar suara erang itu, hingga telinganya begitu hafal dan terkadang seperti mendengar (yang sebetulnya tak ada) tatkala ia sibuk mencuci pakaian di perigi belakang rumahnya, atau ketika menatap hamparan sawah dan panorama Danau Toba dari jalan raya di depan rumahnya sekadar melegakan kelelahannya. Biasanya, bila ibunya mengerang kesakitan, akan ia elus-elus kening, lengan, dan punggung ibunya, sembari membisikkan kata-kata penghiburan dan ajakan berdoa. Terkadang ia nyanyikan sebait kidung rohani ke telinga ibunya. Semua itu ia lakukan dengan tulus, meski awalnya tak mudah.
Namun, memasuki bulan kelima, tiba-tiba ia diserang rasa kesal dan amarah atas kegiatan yang setiap hari harus dilakoninya. Bertubi-tubi pula pikiran-pikiran liar mengganggu hatinya. Pikiran-pikiran yang begitu gencar menggugat: mengapa hanya dirinya seorang yang dibebani mengurus ibunya. Ia mulai tak sabar merawat ibunya, kian sering mengumpat anak-anak ibunya, karena menurutnya tenang-tenang bersama pasangan dan anak masing-masing, sementara ia harus siaga 24 jam. Siang-malam ia berkutat di seputar kamar tidur, dapur, kalau tak di sumur.
Semakin hari, pikiran-pikiran liar itu kian gencar menghinggapi benaknya, mempertanyakan kelanjutan masa depannya. Akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan: telah dikorbankan saudara-saudara kandungnya, hanya karena statusnya masih lajang. Ini sangat tak adil, gerutunya di hati. Anak-anak ibunya yang lain seolah tak diwajibkan melakukan sebagaimana yang sudah berbulan-bulan ia lakukan, hanya karena mereka punya rumahtangga. Ia merasa anak-anak ibunya begitu tega memunahkan masa depannya, tak peduli masa depannya, tak mau tahu kelelahannya, juga kebosanannya berdiam di sebuah desa yang amat sunyi dan hanya dikelilingi hamparan sawah serta kuburan besar.
Ia bukan tak berterimakasih pada kakak-kakaknya. Berkat bantuan merekalah bisa ia lanjutkan sekolahnya, walau ada imbalan yang ia berikan. Selama menumpang di rumah mereka untuk melanjutkan SMA, semampunya ia bantu mengurus rumah dan anak-anak mereka. Tak dipungkirinya bahwa ijazah SMA itulah modal utamanya ketika melamar sebuah pabrik elektronik milik pengusaha Jepang hingga bisa menabung untuk membiayai kuliahnya di fakultas ekonomi sebuah universitas swasta. Tetapi, lonjakan karirnya hingga bisa berposisi manajer madya akuntasi di perusahaan yang sudah ia tinggalkan, tak lain sebagai ganjaran atas kerja keras dan loyalitasnya.
Bukan kemauannya pula bila masih melajang hingga usianya bertengger di angka 37. Jodohnya saja yang belum datang, dan itu bukan karena kesalahannya. Kendati umurnya kian mendekati titik rawan, masih tetap ia nyalakan harapan, akan menemukan lelaki idaman, lalu menikah dan punya anak. Bukan seperti tuduhan sanak-saudaranya: ia keasyikan bekerja dan terlalu ambisius mengejar karir hingga abai berumahtangga. Sesungguhnya masih tetap ia impikan datangnya kesempatan yang diidamkan hampir setiap wanita itu, walau tak harus blakblakan diungkapkan.
Sambil menunggu, ia habiskan waktunya memperdalam bahasa asing dan pengetahuan akuntasi, di waktu senggang membaca majalah atau novel dan sesekali bercengkerama dengan teman-teman sekerja di berbagai mal. Untuk menjaga kebugaran tubuh dan wajah, ia ikuti fitness di Ratu Plaza dan sekali sebulan creambath dan facial di salon langganan. Untuk membuang kepenatan, Jumat sore menonton film di bioskop 21, lalu dilanjutkan mengunjungi kafe yang menyajikan musik top-fourty atau jazz hingga larut malam.
Jadi, bukan karena tak dikehendakinya lagi menikah dan bukan pula karena belum menemukan jodoh maka sukarela ia pulang ke Onan Runggu; meninggalkan sebuah jabatan yang diidamkan banyak karyawan, melupakan sebuah kehidupan yang diimpikan banyak orang. Tekadnya hanya satu: merawat ibunya sebaik-baiknya.
***
ANEHNYA pikiran-pikiran liar itu tak kuasa lagi dienyahkannya. Rutinitas yang berbulan-bulan ia lakukan, tak ubahnya penjara yang mengerangkeng hak-hak pribadinya. Ia sudah jenuh dan benci melakoni kegiatan sehari-harinya, juga tak toleran lagi mencium bau kasur yang memualkan perut itu. (Bau itu bahkan seperti mengikutinya hingga ke ruang tunggu Bandara Polonia, mengalahkan sisa aroma parfum yang ia semprotkan ke lehernya sebelum menaiki kapal kayu bermesin yang menyeberangkan dirinya ke pelabuhan Ajibata).
Bahkan pikiran-pikiran yang lebih liar acap mampir di benaknya, di sudut pikirannya terkadang mengharap kematian ibunya ketimbang tersiksa, walau sesudahnya perasaan bersalah akan mencabik-cabik sanubarinya.
Namun, kehidupannya di Jakarta sudah kelewat dirindukan hatinya, juga kangen suasana kerja di lantai 19 sebuah gedung pencakar langit di Jalan Sudirman. Tak sabar lagi dirinya mengunjungi toko-toko baju, tas, sepatu, parfum, yang dikemas mewah di sejumlah mal dan plaza. Onan Runggu tak bisa lagi menahan dirinya. Kampung kelahirannya itu tak mampu memberi satu orang pun yang cocok untuk temannya bersendagurau dan berbagi cerita. Pun tak menyediakan sebuah kafe untuk minum kopi cappuchino sambil membaca. Ia sudah kangen menceburkan dirinya di lautan pergaulan kosmopolitan, penasaran mengetahui film-film Hollywood terbaru, berselancar di dunia maya, membaca email dan berkomentar di milis.
Desa berhawa sejuk yang dikelilingi hamparan sawah dan bentangan danau yang amat luas itu hanya menawarkan kesunyian, lenguh kerbau, kotek ayam, dengus babi, gonggongan anjing, kicau burung, dan… rintih perih seorang ibu tua yang dilumuri derita.Betapapun hatinya pedih, ia harus pergi. Kepada dua namboru-nya dan Rosinta, keponakannya, ia mohonkan agar sudi merawat ibunya. Berkali-kali ia jelaskan alasan kepergiannya ke Jakarta, namun tak berterusterang bahwa dirinya sudah jenuh mengurus ibunya dan merindukan kehidupannya di ibukota. Ia titipkan pula sejumlah uang untuk membeli makanan dan keperluan ibunya, selain imbalan sekadarnya atas jerih payah mereka. Janjinya, ia akan terus mengirim uang, susu, obat, vitamin, namun tak mengatakan kapan kembali ke Onan Runggu. Tak lupa ia ingatkan agar segera menelepon ke HP-nya atau saudaranya yang lain bila terjadi sesuatu pada ibunya. (Tiga nomor telepon sengaja ia tulis besar-besar dengan spidol biru dan ditempelkan di dinding sebelah kanan tempat tidur ibunya).
KEPUTUSANNYA yang sudah bulat itu, ternyata tak mudah dilakoninya. Sepanjang jalan menuju Medan airmatanya terus menetes, mengherankan dua penumpang bus Muara Nauli yang duduk di sampingnya. Ia merasa tubuhnya masih terus dikerangkeng Onan Runggu, kedua matanya pun terus menyaksikan ibunya tergeletak tak berdaya di kasur kapuk itu. Di telinganya bahkan seperti terus mengiang rintih pilu sang bunda; memanggil dan mencari-cari Merlin supaya punggungnya yang sudah melepuh karena kelamaan berbaring, dielus-elus.Airmata Merlin kembali menetes, kelopak matanya membengkak.
Tak disadarinya para penumpang Lion Air sudah memasuki kabin pesawat. Ia terhenyak ketika petugas perusahaan penerbangan yang akan ditumpanginya menyeru panggilan terakhir bagi penumpang tujuan Jakarta. Ia panik, lalu bergegas mengangkat tas tentengnya yang lumayan berat. Tangga pesawat sudah kosong dan tinggal didorong petugas bandara agar menjauhi badan pesawat. Merlin berlari seraya melambaikan tangan. Untunglah seorang petugas menyongsong dan mengambil-alih tas yang ditentengnya.
Napasnya terengah-engah saat menelusuri lorong kabin. Hampir semua penumpang mengalihkan pandangan ke arah dirinya. Ia gugup mencari kursi 27 A. Buru-buru ia masukkan tas tentengnya ke bagasi kabin lalu duduk seraya memasang seat-belt ke tengah pinggangnya. Tak lama kemudian roda-roda pesawat bergerak, bersamaan dengan pengumuman pramugari agar penumpang tidak mengaktifkan handphone selama penerbangan. Merlin tergesa mengeluarkan telepon selulernya dari tas kecilnya. Di layarnya terlihat sebuah miscall dari nomor telepon yang tak dikenalinya. Ketika jari tangannya hendak mematikan HP-nya, tiba-tiba terdengar nada dering.
“Hallo…, siapa ini?” ucapnya dengan napas memburu.
“Kau ini, Merlin?”
“Ya, saya Merlin. Siapa ini?”
“Aku tulang-mu, Bere! Amani Nober, dari Onan Runggu!”
“Ada apa dengan omak, Tulang?”
“Baru saja pergi, Bere! Baru saja! Sudah di mana kau sekarang, Bere?”
Merlin tak menyahut. Ia termangu dengan mulut menganga. Jantungnya berdentum hebat, tatap matanya hampa, sekujur tubuhnya mendadak lemas. *