Keluhnya mendesah lagi. Dalam. Terngiang percakapan dengan ayah-ibu, adik-adik dan kerabat dekat mereka di kampung itu; percakapan bermuat kecewa dan juga amarah atas tindakan Linggom yang tinggal hitungan jam akan menikahi Riana. Namun, walau sempat tersungkur akibat perbuatan kakak kelasnya di SMA itu, semampunya ia redam emosinya agar tak ikut menghujat Linggom. Mungkin maksudnya agar kekecewaan dan kemarahan orangtua, saudara-saudara dan juga kerabatnya, tak terlalu parah; barangkali pula karena cintanya pada lelaki yang hampir sewindu merajut asmara dengan dirinya itu belum seluruhnya sirna. Ketika orang-orang yang menyayanginya itu gencar menyumpah Linggom, rekaman masa lampaunya malah menari-nari di benaknya.
Linggom adalah lelaki pertama dan satu-satunya yang mampu membuat dadanya bergelora, yang menghibahinya perasaan-perasaan aneh yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Terlintas masa-masa mereka kuliah di Medan , menjalin cinta di tengah keprihatinan, berjuang bersama demi menggapai cita-cita. Juga masa-masa ketika sama-sama mencari pekerjaan di Batam, di mana Linggom harus menitipkannya di kamar kos sepupu perempuannya-buruh sebuah pabrik elektronik-karena tak cukup uang menyewa kamar, sementara Linggom sendiri harus berpindah-pindah dari satu tumpangan ke tumpangan lain. Mereka saling menghibur manakala lamaran kerja ditolak perusahaan yang dipinang, juga tatkala uang untuk membeli nasi, membuat pasfoto dan biaya fotocopy, atau ongkos angkot mencari pekerjaan, kian tipis. Lalu, setelah mendapat pekerjaan dan mendapat gaji, mulai menabung untuk mewujudkan sebuah impian yang mereka bangun sejak kuliah: menikah di Samosir dengan prosesi gereja dan adat nagok.Linggom sudah meruntuhkan impian mereka dalam sekejap. Pengakuannya, ia dipaksa ibunya menikahi Riana, perempuan yang masih terbilang pariban-nya. Padahal selama ini tak pernah ia katakan ikhwal keinginan ibunya itu, bahkan seingat Tarina tak sekalipun pernah ia sebut Riana, perempuan yang lahir dan besar di Lubuk Pakam, perawat di RS Pirngadi, Medan itu . Kata tetangga dan kerabatnya, ibunya Linggom-lah yang melamar Riana dan kebetulan langsung mau. Bahkan orangtua Riana bersedia pula pesta adat pernikahan putri mereka dilangsungkan di Hatoguan dengan cara taruhon jual.
Berhari-hari Tarina lunglai, bahkan hingga kepulangannya ke Hatoguan masih sulit percaya bahwa Linggom bukan lagi miliknya. Orangtua dan kawan-kawannya di Batam sebetulnya keberatan ia pulang, karena menurut mereka hanya menambah luka batin, sementara yang melukainya bersenang-senang dengan perempuan lain. Ia mampu memenangkan pergumulan batinnya, betapapun belum seluruhnya percaya bahwa Linggom akan sungguh-sungguh menikahi perempuan lain. Yang sempat membuat dirinya bingung adalah menentukan kado yang tepat untuk Linggom, walau akhirnya ia putuskan memberi ulos bittang maratur; dengan harapan, Linggom akan bahagia bersama istrinya, memiliki putra-putri.
Orangtua dan adik-adiknya kaget sekaligus gembira ketika ia tiba. Mereka memang sempat cemas memikirkan Tarina. Wajah ayah-ibunya terlihat lega setelah melihat senyum dan cara bicara Tarina yang seolah tak menanggung pikiran berat. Seusai makan malam, ayah dan lima kerabat dekat mereka, coba menyabarkan hatinya, walau nadanya bermuat amarah. Kata mereka, umur Linggom saja yang sudah dewasa, pikiran dan sikapnya masih kanak-kanak. Ia bukan lelaki sejati sebab tak bisa menetapkan sikap sendiri; karenanya ia bukan lelaki yang tepat untuk mendampingi Tarina hingga saur matua.
Orang-orang di Hatoguan tahu, putusnya hubungan Linggom dengan Tarina, semata-mata disebabkan persoalan orangtua mereka. Ayah Tarina dan ayah Linggom yang sama-sama guru di SMP Hatoguan dan sintua di gereja mereka, sekitar 15 tahun lalu terlibat pertikaian hebat akibat ulah petinggi gereja-yang juga mengimbas ke hampir semua jemaat dan pengurus gereja Batak Protestan itu. Bertahun-tahun dua kelompok itu berseteru, memperebutkan bangunan gereja yang diklaim masing-masing kubu sebagai pemilik yang absah.
Ketika konflik antarjemaat gereja itu berkobar, Tarina masih gadis kecil murid kelas empat SD dan Linggom kelas enam. Sebagaimana anak-anak lain seumuran mereka, kedua bocah itu tak cukup paham akar persoalan yang mengakibatkan maraknya api perseteruan orangtua mereka. Cinta mereka tumbuh alamiah dan bersemi ketika Tarina kelas satu SMA dan Linggom kelas tiga di SMA 1 Pangururan�walau baru setahun kemudian mereka ikrarkan. Mereka pikir permusuhan orangtua mereka sudah menguap. Ternyata tidak bagi orangtua Linggom. Kesumatnya tetap membara hingga masa tuanya menjelang.
***
PIKIRAN Tarina masih terus mengelana dan akhirnya tiba di sebuah ruang dormitory milik perusahaan asing tempatnya bekerja; tempat tubuhnya biasa berehat usai kerja. Foto-foto Linggom tak lagi ikut menghuni kamar sempit itu. Sebelum kepulangannya ke Samosir, kesemua gambar lelaki itu, termasuk foto kesukaannya saat mereka pesiar ke pantai Bintan, sudah ia singkirkan. Mendadak pula ia minta cuti dari kantornya dengan alasan neneknya sakit keras-yang sebetulnya sudah lama mati.Ia tak merasa sayang lagi mengeluarkan delapan ratus ribu rupiah untuk ongkos perjalanannya ke Samosir, juga membelanjakan sekitar tiga setengah juta untuk membeli oleh-oleh bagi kedua orangtua dan keempat adiknya. Tadinya, uang yang dua tahunan susah-payah ditabungannya itu akan ia serahkan pada ibunya untuk membiayai pesta pernikahannya. Setengahnya kini sudah dikuras; anehnya ia merasa puas.
Dan, dua potong kebaya dan sarung Palembang yang susah-payah dicicilnya dari Inang boru Gultom pedagang kain di Batu Ampar itu, telah ia serahkan pada ibunya, diberikan berikut oleh-oleh lain yang dibawanya dari Batam. Ibunya tertegun saat menerima dua potong bahan kebaya dan sarung yang berkilauan itu. Perempuan 40 tahunan itu tentulah tahu, kendati tak ada yang memberitahu, kebaya dan sarung yang baginya termasuk barang mewah itu sedianya dibeli Tarina untuk busana pernikahannya. Sepasang untuk acara martumpol, satu lagi untuk acara pamasu-masuon di gereja sekaligus pesta adat.
Ibunya tak kuasa pula menutupi galau hatinya ketika memperlihatkan selembar ulos bittang maratur yang pekan lalu ia beli di pasar Mogang atas pesanan putri sulungnya. Tarina tahu hati ibunya pastilah teriris-iris saat memilih ulos tersebut, karena mestinya ulos untuk dirinya dan Linggom-lah yang dibeli-yang diberikan saat upacara adat perkawinan mereka.
Sampai percakapan mereka berujung karena malam sudah membubung, ibunya tak menyinggung perihal kebaya dan sarung berjenis songket Palembang pemberian Tarina itu. Perempuan beranak lima itu cuma membekapkan bungkusan besar itu ke dadanya, lalu beringsut menuju kamar tidurnya. Ketika Tarina memasuki kamar adik-adiknya yang bersebelahan dengan kamar tidur ibunya, dari sela gorden kusam yang menjuntai di atas kusen pintu, tertangkap matanya ibunya rebah di atas dipan dengan lengan kanan menggeletak di kening, sementara lengan kirinya menindih bungkusan berisi kebaya dan sarung itu di atas perutnya.
Tarina bisa menduga pikiran-pikiran yang berkecamuk di benak ibunya, juga meraba kepedihan hati perempuan yang amat disayanginya itu. Sebetulnya amat ingin ia bicara, memohon agar ibunya tak lagi menyesali sesiapa pun atas kegagalan pernikahannya; semata-mata karena Linggom memang bukan jodohnya. Niatnya terganjal karena kedua adiknya, Sinta dan Romauli, mengajaknya berbincang seraya meluapkan rindu bersama.
Sinta, adik di bawahnya persis dan guru SD di Tebing Tinggi, agaknya sengaja memilih topik pembicaraan seputar pekerjaan Tarina dan suasana kehidupan di Batam; sementara Romauli, pelajar SMA kelas tiga itu, lebih suka meneruskan kecaman pada Linggom, yang dikatakannya pengecut dan penipu. Tak lupa Romauli mengimbuhkan betapa kegagalan pernikahan Tarina dan Linggom menjadi bahan pergunjingan menarik di seantero Hatoguan, bahkan menyebar hingga Palipi. Di sawah, pasar, kedai, danau, apalagi saat kaum perempuan bermalas-malas sambil mencari kutu di tangga depan rumah mereka, ketidakjadian Linggom mengawini Tarina itulah bahan gunjingan utama.Tarina bersikap tenang saat Romauli dengan emosional menyampaikan tanggapan orang-orang. Ditambahkannya pula bahwa menurut penilaian orang-orang, perempuan yang akan diperistri Linggom itu tak lebih cantik dari Tarina; harga dirinya pun dianggap rendah sebab mau dinikahi lelaki yang seumur hidupnya belum pernah dikenal. Selama Romauli bercericau, Tarina hanya senyum walau sesekali mendenguskan napas panjang. Bisa dimakluminya kekecewaan Romauli, sebagaimana ayah-ibu dan semua kerabatnya. Bisa pula dipahaminya alasan-alasan mereka menuduh Linggom lelaki pengecut yang tak bertanggungjawab.
Tapi ia tak ingin bila adik-adiknya, apalagi ayahnya, semakin beringas menghujat Linggom. Bukan karena Linggom masih menyisakan serpihan-serpihan cinta di relung hatinya, bukan pula karena malam itu masih ada harapan akan terjadi sebuah keajaiban: Linggom tiba-tiba datang menemuinya dan berkata sudah membatalkan perkawinannya. Ia ingin, di tengah persoalan dirinya dengan Linggom, harus dibuat pagar pembatas, yang tak perlu dimasuki orang lain, kendati yang memasukinya berstatus orangtua atau saudara kandung. Walau amat kesakitan ditinggal Linggom, ia ingin dirinya saja yang menanggung derita, seberat apapun itu.
Dan, maksud kepulangannya ke Hatoguan itu, tak lain untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa tegar-walau hatinya remuk. Juga untuk menyerahkan oleh-oleh istimewa untuk perempuan yang melahirkannya, dua potong bahan kebaya buatan Paris dan sarung songket Palembang yang kebetulan amat ia sukai warna dan motifnya.
***
TARINA benar-benar tak tidur. Tubuhnya bagai patung di tengah jendela depan rumah orangtuanya. Matanya terasa perih, mungkin karena semalaman melek. Ditatapnya pematang-pematang sawah dan hamparan danau yang mulai jelas terlihat karena pantulan cahaya matahari fajar, ditambah bias sinar rembulan yang sudah tertutup perbukitan Ulu Darat.Langkahnya perlahan menuju kamar tidur adik-adiknya lalu merebahkan tubuh di sisi Sinta. Tak seberapa lama kemudian ia dengar ibunya bangun dan bersibuk di dapur. Tarina berusaha memejamkan mata, sayangnya pikirannya kembali mengelana.
Tak lama lagi lelaki yang sekian lama mendebarkan jantungnya itu akan resmi dimiliki perempuan lain.
Dadanya berdentum-dentum tatkala terbayang perjalanan Linggom dan Riana menuju gereja-diikuti rombongan orangtua, handaitolan, tetangga–yang harus melintasi jalan di depan rumahnya. Belum yakin pula ia apakah benar-benar siap menyerahkan ulos bittang maratur yang sudah dibungkusnya dengan kertas kado warna ungu itu.
Tiba-tiba ibunya membuka pintu, menghampirinya, dan dengan suara pelan membangunkannya.
Tarina masih memejamkan mata.
“Bangun dulu kau Inang, sebentar saja,” ulang ibunya. “Nanti kau teruskan pun tidurmu.”
“Kenapa, Mak?” Tarina seolah baru terbangun dari tidur yang lelap.
Ibunya menatap Tarina beriring senyum, tapi bola matanya berkaca-kaca. Beberapa jenak mereka termangu, perasaan Tarina kembali dihanyutkan galau.
“Omak harus mengembalikan kebaya dan sarung songketmu ini, Inang …”
“Kenapa, Mak? Omak tak suka?”
Ibunya menggeleng, senyumnya tipis.
“Uangku sendiri kok, Mak, yang membeli…”
Ibunya mengangguk.
“Lalu, kenapa Omak kembalikan?”
Ibunya tersenyum lagi, “Semalaman mataku tak bisa lelap, Inang. Lalu aku berdoa terus-menerus, memohon-mohon pada Tuhan agar jodohmu ditunjukkan.”
Ibunya tak kuasa menghentikan desakan air matanya.
Tarina terdiam, menahan napas sembari melipat kedua bibirnya, “Tapi Omak jangan sedih. Tak kuat aku melihat Omak menangis.”
Ibunya mengangguk, matanya mendadak berbinar.
“Apakah Omak belum yakin permasalahanku dengan Linggom akan bisa kuhadapi dengan tenang?”
Ibunya menghapus kelopak matanya dengan punggung telapak tangannya, “Tangisku ini tangisan senang, Inang…,” ucapnya lirih. Beberapa saat ia terdiam. “Tadi di dapur, saat menanak nasi untuk sarapan kita, kudengar malaikat Tuhan membisikkan sesuatu ke telingaku.”
Dahi Tarina sontak mengernyit.
“Katanya, lelaki yang sungguh-sungguh mencintaimu tak lama lagi akan datang, Inang…”
Mata Tarina membelalak, kerut di keningnya semakin rapat.
“Kebaya-kebaya cantik inilah yang kuingin kau kenakan saat lelaki yang akan dikirim Tuhan itu menikahimu…”
***