Get Gifs at CodemySpace.com

ISTANA CINTA AYAH DAN BUNDA

Bistok Hutapea duduk merenung di kantornya. Dengan pandangan yang kosong dia memandang keluar jendela kaca yang membentang seluas dinding ruangan. Dari tempatnya duduk dia memandang langsung arus lalu lintas yang padat di Jalan Casablanca, dibawah jembatan Kuningan.

Kantornya yang terletak di lantai empat belas gedung mewah itu memang sangat strategis. Maklum, dia sebagai salah seorang Direktur di perusahaan asing yang bergerak di bidang Consultant Perminyakan. Perlu prestige, tak masalah harga sewa gedung yang selangit.
Dia nampak gelisah. Surat dan ticket pesawat yang dikirimnya seminggu yang lalu belum ada kabar balasan. Di dalam surat itu jelas dia terangkan supaya Ibunya secepatnya menelepon ke Jakarta. Pihak El Te Ha yang mengirim surat dan tiket juga menjanjikan paling lambat tiga hari sudah sampai, karena di Laguboti belum ada De Ha El yang menjadi langganannya.
Hari itu Bistok benar benar tak ada mood mengerjakan sesuatu. Sudah satu jam lebih dia duduk merenung, tak diperdulikannya e-mail yang menumpuk menunggu respon, seperti kegiatan rutinnya setiap hari. Bistok memencet beberapa tombol di telephon. “Mery… tolong batalin semua meeting hari ini ya… kalau ada yang nelpon bilang aja saya sakit….
Beberapa saat kemudian sang sekretaris yang ramah itu muncul dipintu. “Bapak sakit…?!” Mery bertanya setelah menutup pintu kembali.
“Perlu ditelepon dokternya nggak pak…?”, Mery bertanya setengah cemas, maklum buat orang sekelas Bistok, dokter akan bersedia datang ke kantornya.
“Ah..nggak apa apa koq Mer, cuma pengen sendiri aja… tolong biarkan saya sendiri ya… kalau saya perlu sesuatu akan panggil kamu…, Bistok menenangkan.
“Baik Pak…permisi…” Mery pamit keluar dengan berbagai pertanyaan dihatinya. Ada apa gerangan dengan si Boss, jangan-jangan si Boss sedang ada masalah dengan istrinya?, jangan-jangan si Boss ada affair??? Mery benar benar bingung tetapi tak berani menanyakannya.
Kembali Bistok hanyut dalam lamunannya. Dia tak habis pikir mengapa begitu sulitnya mengajak Ibunya agar datang ke Jakarta. Padahal semua anak-anaknya sudah tinggal di Jakarta dan semuanya terbilang berhasil. Bistok yang paling tua, kemudian Hotman yang nomor dua, seorang pengacara terkenal di Jakarta. Rondang nomor tiga, bersuamikan seorang dokter spesialist kandungan, dokter Lumban Tobing yang tinggal di Kelapa Dua Jakarta. Parsaoran yang paling bungsu. Siampudan ini menjadi pegawai di tempat Bistok bekerja dengan kedudukan yang lumayan.
Mereka semua selalu merasa berdosa, mengapa Ibunya hidup sebatang kara di Laguboti, sementara anak-anaknya hidup tak berkekurangan di Jakarta. Meskipun mereka selalu mengirimkan uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan Ibunya melalui salah seorang tulangnya “Ompung martinodohon” yang punya usaha Wartel di Sirpang Laguboti.
Semenjak Bapak mereka meninggal, Ibunya tinggal sendirian di Laguboti, walaupun sebenarnya semua tetangga sudah seperti saudara bagi mereka.
Beberapa kali mereka pulang kampung hanya untuk membawa Ibunya ke Jakarta, tetapi Ibunya tak betah, selalu minta pulang, dengan alasan tak mau meninggal di Jakarta, takut mayatnya akan dikuburkan di Jakarta. Padahal mereka semua sudah berjanji, kalau Tuhan menghendaki Ibunya meninggal di Jakarta, mereka akan membawanya ke Laguboti untuk dimakamkan disamping Bapak mereka.
Menantu menantunya pun semua sayang pada Ibunya. Tak pernah sekalipun sepengetahuan Bistok ada yang menyakiti atau menyinggung perasaan Ibunya. Malah suatu kali ketika Ibunya sakit diare selama empat hari karena kebanyakan memakan naniura, Bistok dan Istrinya Monica Margono asal Solo, buru buru pulang ke Laguboti. Istrinya membawa sebuah pispot untuk membantu mertuanya agar tidak perlu bangkit dari tempat tidur untuk membuang hajat.
Sesampainya di Laguboti ternyata Ibunya sudah mulai sehat. Bistok dan Monica tinggal di sana selama seminggu untuk memastikan kesehatan Ibunya. Setelah kesehatan Ibunya sudah pulih, Bistok mengajak Monica jalan jalan ke Sidulang, tak lupa pula singgah Di Hepata, rumah sosial yang dikelola oleh Gereja HKBP untuk memberikan sekedar bantuan, sebagai ucapan terima kasih kepada yang Kuasa atas kesembuhan Ibunya.
Sore harinya sepulang dari Sidulang, Ibunya sudah menyiapkan makanan hasil masakan sendiri. Bistok dan Monica sebenarnya kurang tega Ibunya yang baru sembuh itu memasak untuk mereka. Tetapi memang mereka pun kangen mencicipi masakan sang Ibu yang jago mangarsik itu, terutama Bistok. Tetangga sebelah rumahpun tak ketinggalan diajak makan bersama. Sudah kebiasaan di sana, setiap ada masakan khusus, tetangga selalu kebagian. Setidaknya dapat kiriman di piring atau panci.
Ketika Bistok dan Istrinya mandi membersihkan diri ternyata Ibu dan tetangga sebelah rumah sibuk menghidangkan makanan. Merekapun bergabung duduk diatas tikar di lantai. Monica begitu penasaran memandang hidangan didepannya, ada na ni arsik, ada pula manuk na pinadar lengkap dengan namargotanya, ada gulamo na tinutung yang menyebarkan aroma harum. Yang ini “hasoloman” (kegemaran) Bistok.
“Buat jo ikkau rata na tinutu i Nan Tiur….”, Ibu Bistok memberi instruksi pada tetangganya.
“Bah…gabe lupa ate….” Nai Tiur tergopoh gopoh menuju dapur.
“Nion… apala tabo hubaen, adong rimbang na…”, katanya sambil menyodorkan tepat didepan Bistok dan Monica.
Alamaaaak!!!!, Monica hampir pingsan, ternyata wadah sayuran daun singkong yang di tumbuk halus itu adalah pispot yang dibawanya.
Demi menjaga perasaan orang tuanya, Bistok dan Monica memakan sayur dari pispot itu. Toh belum terpakai. Bistok jadi senyum senyum sendiri mengingat hal itu dikantornya.
***
Ompu Pereddi (begitu dia menyebutnya aslinya Freddy) di Laguboti sedang duduk di depan pintu rumah Tiur tetangganya, beberapa waktu yang lalu dia menerima sebuah amplop dari petugas El Te Ha, setelah mendodalkan (maaf tak tau bahasa Indonesianya) cap jempolya si pengantar pergi, maklum Ompu Pereddi buta huruf. Dia menunggu Tiur keluar menemuinya.
“Jaha jolo ompung surat ni Bapatuam on….”, katanya sambil mengulurkan amplop ditangannya.
“Bah.. ai ticket pesawat do on Ompung…” Kata Tiur murid Kelas dua SMU Katolik Bintang Timur Balige ini. Kemudian dia membuka surat yang ada di amplop itu yang isinya :
Horas ma di ho Inong, sai di dongani Tuhanta ma hita on saluhutna, suang songon i nang hami sude ianakkonmu hipas do di tingki na manongos surat on.
Inong, rampak dohot surat on hutongos do tiketmu marpesawat tu Jakarta, jadi di Jakarta ma nian Inong mar ari pesta dohot martaon baru, asa boi hita sude marpungu.
Inong, nungnga mangkatai au dohot Tulang Sibarani parwartel, nungnga hutongos hepeng tu Tulang i. Jalo ma sian tulang i hepeng jala pataruonna do Inong tu Medan.
Pintor hatop ma martelepon Inong sian Wartel ni Tulang i asa pintor las roha ni pahompum diharorom, ai nungnga mansai masihol sude pahompum di Jakarta.
Sahat tabe sian hami sude dohot angka pahompum di Jakarta.
Ingkon ro do Ho Inong da….
(Salam bagimu Ibu, semoga Tuhan melindungi kita semuanya, begitu juga kami seluruh anak anakmu dalam keadaan sehat ketika mengirim surat ini.
Ibu, bersama dengan surat ini saya mengirimkan ticket pesawatmu ke Jakarta, jadi sebaiknya Ibu merayakan Hari Natal dan Tahun Baru, agar kita dapat berkumpul semuanya.
Ibu, saya sudah berbicara dengan Paman Sibarani pemilik wartel, saya sudah mengirimkan uang pada Paman itu, terimalah uang dari Paman, dan Paman akan mengantarkanmu ke Medan.
Segeralah Ibu menelepon dari wartel Paman itu agar cucumu merasa senang atas kedatanganmu, karena sudah begitu rindu cucumu di Jakarta.
Salam dari kami semuanya beserta cucu cucumu di Jakarta.
Ibu harus datang ya…)
“Ue… i do hape…. jaha jo sahali nai oppung” (Oo.. begitu rupanya… bacalah dulu sekali lagi “ompung” panggilan sayang kakek/nenek pada cucunya), Ompu Pereddi meminta Tiur mengulangi membaca surat itu.
“Ba…lao ma Ho antong Inong…. ai nungnga masihol sude akka gellengmu tu Ho…” (Ya… pergilah Ibu… semua keturunanmu sudah kangen padamu…), tiba tiba Nai Tiur menimpali. Ternyata dia ikut mendengarkan isi surat itu.
“Ai boha do bahenonhu…. nga matua au… dang rohangku be mardalani…” (bagaimanalah saya perbuat… saya sudah tua… saya sudah tidak ingin jalan jalan lagi…), kata Ompu Pereddi.
“Ho ma jo poang… boha do bahenonhu maninggalhon jabu napinukka ni Amongmon. On do na pinukkanami nadua sian najolo. Sai marpanangi ma tondim Ompu Pereddi doli…!, ramoti gelleng tai ate…” (cobalah renungkan… bagaimana saya akan meninggalkan rumah yang dibangun orang tuamu ini, inilah hasil perjuangan kami dari dahulu… mudah mudahan arwahmu mendengar Ompu Pereddi laki…!, lindungilah keturunan kita itu ya…), Ompu Pereddi berkata sambil mengarahkan wajahnya ke arah sebelah rumah di mana makam Ompu Pereddi doli dan calon makamnya berada.
“Tenang ma ho Inong… hujaga pe jabu mon” (tenanglah Ibu… rumahmu ini akan kujaga…), Nai Tiur meyakinkannya.
“Daong poang… dison ma au…” (tidaklah… saya disini saja…), Ompu Pereddi menerima kembali amplop dan seluruh isinya dari Tiur, kemudian menyelipkannya di saong-saongnya (kain sarung yang dililitkan di kepala dan dilipat ke belakang).
Dengan langkah gontai Ompu Pereddi melangkah kearah makam suaminya di sebelah rumah. Sambil membersihkan rerumputan dan daun daun diatas makam bertembok beton tersebut dia melampiaskan perasaannya.
Diangannya terulang kembali kenangan kenangan silam mulai dari ketika Ompu Pereddi Doli datang martandang ke Sigumpar. Setelah pertemuan mereka yang tidak sengaja, karena waktu itu ada pesta Parheheon HKBP si Gumpar. Dia anggota Koor Naposobulung HKBP Sigumpar, sementara Ompu Pereddi Doli “Par-Tak” Koor Naposobulung HKBP Laguboti.
Sejak pertama melihat gaya Mar-Tak nya pria itu, dia sudah jatuh hati. Sebagai boru Batak bermarga Sibarani, dia tak mungkin mengungkapkannya terus terang. Hanya saja dia memberi sinyal sinyal tertentu agar si Doi ada perhatian.
Benih cinta pun bertaut, sampai kemudian mereka mangalua (kawin lari) ke Laguboti, karena mereka tak punya cukup dana untuk biaya pernikahan dengan mangadati (pernikahan dengan pesta adat). Malam hari mereka berjalan kaki dengan dua orang pandongani (pendamping pengantin) dari Sigumpar ke Laguboti, lewat tepian jalan karena takut tertangkap oleh dongan sahutanya. Malah mereka sempat bersembunyi di Dolok Sait, sebuah bukit kecil tempat pemakaman umum di dekat Simpang Pintu Bosi. Jaman itu mobil hanya milik tentara Jepang, angkutan paling hebat hanyalah sadu (kereta kuda).
Dia teringat ketika pertama kali mereka akan mendirikan rumahnya, dengan bergotong royong. Seluruh kerabat dan handai taulan laki laki bergotong royong menebang kayu untuk keperluan Rumah, sementara Ibu Ibu memasak nasi dan lauk pauknya, tidak lupa pula Itak gurgur dan lappet (sejenis kue terbuat dari tepung beras) bersama kopi.
Dia juga teringat ketika dia mengandung Bistok. Dia mengidam Tarutung, durian yang kata orang harumnya membuat kepayang. Jaman itu pohon durian belum ada diwilayah Toba, hanya di daerah Sumatera Timur, paling dekat adalah Pardagangan. Dari Pardagangan dijual di Pematang Siantar.
Entah bagaimana caranya suaminya mengusahakannya. Dia membawa pulang empat butir buah durian ke Laguboti. Walaupun keadaannya sudah pecah-pecah, namun wanginya masih menyekat.
Suaminya hanya menonton dia menikmati buah durian itu. Ada kepuasan di wajahnya bisa memenuhi permintaan Istrinya, padahal dia hanya memakan satu ruang saja buah durian itu. Setelah dia berkata saya sudah cukup barulah suaminya mencicipi. Ungkapan rasa cinta yang begitu tulus.
Biji biji durian itu kemudian diserakkan di belakang rumah mereka sampai tumbuh besar. Sampai kini pun setiap Ompu Pereddi memandang pohon durian itu terutama kala pohon durian itu berbuah, dia akan teringat kenangan itu.
Sambil melangkah menuju rumahnya, Ompu Pereddi berkata dalam hati. “Saya sudah menerima surat dan kirimanmu Anakku… saya mengerti kemauanmu… saya mengerti perasaan kalian… saya juga sangat rindu pada kalian…. Tetapi tolonglah pahami isi hatiku… Begitu banyak kenanganku didesa ini…, begitu banyak memory dirumah ini…, begitu banyak perjuangan dan keringat kami yang tertumpah membangun rumah ini… Mungkin bagi kalian ini hanyalah sebuah gubuk reot…, tetapi bagiku inilah istana cinta. Ya, cinta kami berdua yang mampu kami pertahankan sampai ajal menjemput…. Kau lihat anakku…, tempat untuk makamku pun sudah kusediakan disamping Bapakmu… Semoga kalianpun dapat mempertahankan cinta kalian seperti kami…..”
“Manggomgom ma tondingki di ho Amang dohot Pahompungki, nang songon i dohot Parumaenhi….” (Roh jiwaku melindungi kalian anakku dan cucuku, begitu juga para menantuku…), Ompu Pereddi berbisik pelan sambil menitikkan airmatanya…. sambil memasuki rumahnya

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda

Template by:

Free Blog Templates